JatiNews, KOTA JAMBI – Berbekal beberapa lembar surat lawas, Arazmi melakukan perlawanan. Ditambah lagi modal keyakinan dan keberanian, ia mencoba merebut tanah yang ia yakini milik kakeknya yang diperjualbelikan oleh orang lain, puluhan tahun silam.

Tanah yang diperjuangkan Azmi itu tak bisa dibilang sedikit. Luasnya 2,7 hektar. Atau kalau menggunakan satuan yang lazim di Jambi setara dengan 270 tumbuk. Kalau dirupiahkan dengan harga tanah di kawasan itu nilainya tentu fantastis.

Tanah yang berada di Jalan Abdurrahman Saleh, Kota Jambi itu kini berpagar beton, semak dan tanah kosong.

Azmi memiliki SKHT dengan nomor 63/VIII/AGR./KDL./1962. Surat dengan stempel basah tersebut ditandatangani oleh Bahar SD, Kepala Agraria Daerah Batang Hari dan Kotapraja Djambi, tanggal 8 Agustus 1962.

“Ini surat tanah lain di periode yang sama, nama Kepala Agrarianya juga sama,” ujar Azmi sembari memperlihatkan kopian surat tanah lain yang ditandatangani orang yang sama.

SKHT yang jadi pegangan bapak dua anak itu atas nama Soelaiman bin Hadji Mansur. Kakek Azmi dari pihak bapak. Tertulis tanah yang dibeli Soelaiman pada 20 September 1951 memiliki luas 13.899,86 meter persegi. 

Baca juga:  Usai dilantik, Kadis PU Langsung Cek Progres Pembangunan Stadion

Dulu, secara administratif tanah yang diperjuangkan Azmi masuk dalam wilayah Kampung Paal Merah, Marga Kumpeh Ulu, Kecamatan Jambi Luar Kota. Sementara Soelaiman sebagai empunya domisili di Kuala Tungkal.

Akses komunikasi dan transportasi masa itu yang masih terbatas, membuat kakek Azmi terkendala mengurus ketika tanah itu diserobot.

Azmi bilang pada tahun 1974 sudah ada upaya perebutan tanah itu.

“Ada orang yang oleh kakek saya diminta menjaga tanah itu memberi tahu lewat surat. Oi, Sulaiman ke Jambi lah, tanah kau nih ado yang nak ngambek,” ujar Azmi menirukan.

Namun surat menyurat pada masa itu jelas tak secepat sekarang. Di memorinya masih terekam peristiwa pada tahun 1993. Azmi kecil masih duduk di kelas 6 SD bertanya pada ibunya.

“Mak ngapo nenek (kakek) tu bolak balik (Tungkal-Jambi)? Mengurus tanah nenek kau tu lah,” ujar Azmi mengenang.

Namun apa daya, surat menyurat dan upaya Soelaiman muda menyelamatkan haknya, kalah cepat dengan upaya perebutan tanah itu.

Waktu berlalu, Azmi kecil tumbuh dewasa dan kian melek dengan hukum. Ia akhirnya tak tinggal diam. Ia menelusuri mulai dari RT, kelurahan, BPN. Ia ingin tahu siapa pemilik tanah itu sekarang dan bagaimana tanah itu bisa berpindah kepemilikan.

Baca juga:  Antara Hukum dan Kesejahteraan Penambangan Timah di Bangka Barat

Upaya itu tidak sia-sia. Ia mendapatkan nama dan alamat orang yang diduga menjual tanah tersebut. Tapi, orang dimaksud sudah meninggal. Hingga kemudian ia mengetahui orang yang membeli tanah tersebut. Tak hilang akal, ia berupaya menemui orang tersebut.

“Dia bilang ajukan saja gugatan,” kata Azmi, menirukan ucapan pembeli tanah kakeknya dari orang lain tersebut.

Azmi sempat patah arang memperjuangkan tanah itu. Hingga akhirnya pada 2023 semangat itu kembali menyala. Kendati ia sudah mengetahui orang yang membeli tanah tersebut, ia akhirnya bersyurat ke BPN Kota Jambi. Ia meminta agar diperlihatkan warkah atau bukti kepemilikan tanah tersebut.

Namun BPN, menurut Azmi dengan alasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik tak mengabulkan permintaan Azmi untuk melihat bukti kepemilikan petak tanah tersebut. Azmi mentok.

Syahdan, ia mengetahui keberadaan lembaga Komisi Informasi (KI). Di sanalah ia mengadu. Hingga akhirnya pada 2024 ia kembali membuat surat kepada BPN Kota Jambi. Tujuannya sama, untuk melihat warkah tanah. Bisa ditebak, BPN tetap pada keputusannya.

Baca juga:  LTB Bersama Fakultas Sains & Teknologi UIN STS Jambi Gelar FGD ‘Transisi Energi yang Adil dan Berkelanjutan di Jambi’

“Nah surat jawaban dari BPN itulah yang saya masukkan Laporan ke Komisi Informasi untuk diuji,” ujar Azmi.

Dus, setali tiga uang. Sidang Komisi Informasi yang digelar Kamis (21/11/2024) memutuskan hal sama, bahwa Azmi tak bisa melihat warkah tanah meskipun ia memiliki SKHT tahun 62 di tanah tersebut. Sebelum putusan KI tersebut, menurut Azmi KI sudah ke BPN untuk melihat warkah dimaksud.

“Ya saya kan punya dokumen yang sah juga, di mana keadilan. Tapi keputusan akI KI saya PTUN kan dan itu diperbolehkan secara hukum,” timpalnya.

Sejalan dengan itu, Azmi bahkan memasukkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jambi. Ia menggugat BPN. Proses persidangan sudah berjalan sejak beberapa waktu lalu. Ia juga melapor Secara daring ke lapor.go.id terkait mafia tanah. Tak terkecuali ke Lapor Mas Wapres.

Azmi sadar perjuangannya panjang dan menguras energi. Ia tetap meyakini bahwa yang ia lakukan sebagai cucu Soelaiman adalah memperjuangkan haknya. (Rls/*)